BARONG LANDUNG Kapan sesungguhnya Barong Landung tersebut muncul? Ini yang masih banyak dipertanyakan. Pada pemerintahan Dalem Waturenggong, abad ke-16, seni dan budaya Bali telah mencapai puncaknya. Kala itu telah diciptakannya relief Boma,
yang kemudian menjadi tapel Barong Ket. Di samping itu pula terdapat tulisan Banaspati dan Calonarang, keduanya menunjuk pada pengertian Barong. Mungkinkah Barong Landung juga diciptakan pada masa ini?
Yang pasti, kemampuan manusia Bali dalam membuat simbol-simbol sudah ada sejak zaman dulu, seperti simbol bade, meru, pratima, rerajahan, warna-warna sakral, banten, sikap tubuh dalam gambar wayang, dan sebagainya. Dalam proses berkarya, biasanya untuk mengagumkan sesuatu, mereka, terutama para undagi, kreator, atau senimannya, sering mewujudkan pujaannya itu jauh lebih besar dari dirinya. Ini semata-mata untuk menunjukkan betapa besar kekuasaan Tuhan, dan betapa kecil dirinya. Dalam Barong Landung ini misalnya, undagi sengaja membuat wujud yang sangat menyeramkan dengan harapan dapat mengimbangi kedahsyatan roh-roh jahat yang sering mengganggu kehidupan di desa-desa.
Menurut Pan Putu Budhiartini dalam bukunya “Rangda dan Barong, Unsur Dualistik, Mengungkap Asal-asal Umat Manusia”, Barong berasal dari Tatwa Kanda Pat Bhuta, tepatnya adalah duwe dari Sang Catur Sanak yang mengambil wujud rwa bineda — dua sifat yang berbeda dari laki-perempuan, siang-malam, panas-dingin, dan sebagainya. Yang cair misalnya, kalau dipanaskan oleh api akan menguap ke langit (I Bapa), sedangkan api akan mengendap ke bumi (I Meme). Langit sendiri akan menurunkan hujan untuk menyuburkan bumi dan melahirkan kehidupan.Jadi, dengan begitu, kemungkinan Barong Landung adalah perwujudan I Bapa dan I Meme. I Bapa sebagai langit diwujudkan dengan warna hitam (Jro Gde), simbol dari Dewa Wisnu yang memelihara dunia, sekaligus Dewa Air yang menghanyutkan segala noda dunia, dan menjadi tirta penglukatan bagi umat manusia. Sedangkan I Meme atau Ibu Bumi (Jro Luh) berwarna putih sebagai Iswara yang sering juga disebut Siwa, maha pelebur segala noda sekaligus sebagai tempat penciptaan. Jadi, Jro Luh adalah Ibu Bumi yang mengandung, memelihara, dan akan mengembalikan lagi isi dunia ke dalam perutNya ketika waktunya telah tiba.
Barong Landung, jika disimpulkan, adalah perwujudan dari sang Maha Pencipta itu sendiri, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang oleh undagi di masa lalu tentu diwujudkan sesuai dengan keadaan zamannya ketika itu, yakni ketika sedang hangat-hangatnya perkawinan antarbudaya Cina dan Bali, termasuk di dalamnya “perkawinan celaka” sang raja dengan putri Cina itu.
Namun, apapun latar belakangnya, Barong Landung adalah mahakarya yang pernah diciptakan oleh para leluhur di Bali. Ia adalah lambang penciptaan (lingga dan yoni) yang oleh ilmuwan Thomas Alfa Edison disebut sebagai unsur positif dan negatif. Diyakini, jika kedua unsur ini bertemu, maka akan menimbulkan energi listrik. Hebatnya, konsep lingga-yoni tercipta jauh sebelum Thomas Alfa Edison lahir.
(Sumber: Bali Post)
yang kemudian menjadi tapel Barong Ket. Di samping itu pula terdapat tulisan Banaspati dan Calonarang, keduanya menunjuk pada pengertian Barong. Mungkinkah Barong Landung juga diciptakan pada masa ini?
Yang pasti, kemampuan manusia Bali dalam membuat simbol-simbol sudah ada sejak zaman dulu, seperti simbol bade, meru, pratima, rerajahan, warna-warna sakral, banten, sikap tubuh dalam gambar wayang, dan sebagainya. Dalam proses berkarya, biasanya untuk mengagumkan sesuatu, mereka, terutama para undagi, kreator, atau senimannya, sering mewujudkan pujaannya itu jauh lebih besar dari dirinya. Ini semata-mata untuk menunjukkan betapa besar kekuasaan Tuhan, dan betapa kecil dirinya. Dalam Barong Landung ini misalnya, undagi sengaja membuat wujud yang sangat menyeramkan dengan harapan dapat mengimbangi kedahsyatan roh-roh jahat yang sering mengganggu kehidupan di desa-desa.
Menurut Pan Putu Budhiartini dalam bukunya “Rangda dan Barong, Unsur Dualistik, Mengungkap Asal-asal Umat Manusia”, Barong berasal dari Tatwa Kanda Pat Bhuta, tepatnya adalah duwe dari Sang Catur Sanak yang mengambil wujud rwa bineda — dua sifat yang berbeda dari laki-perempuan, siang-malam, panas-dingin, dan sebagainya. Yang cair misalnya, kalau dipanaskan oleh api akan menguap ke langit (I Bapa), sedangkan api akan mengendap ke bumi (I Meme). Langit sendiri akan menurunkan hujan untuk menyuburkan bumi dan melahirkan kehidupan.Jadi, dengan begitu, kemungkinan Barong Landung adalah perwujudan I Bapa dan I Meme. I Bapa sebagai langit diwujudkan dengan warna hitam (Jro Gde), simbol dari Dewa Wisnu yang memelihara dunia, sekaligus Dewa Air yang menghanyutkan segala noda dunia, dan menjadi tirta penglukatan bagi umat manusia. Sedangkan I Meme atau Ibu Bumi (Jro Luh) berwarna putih sebagai Iswara yang sering juga disebut Siwa, maha pelebur segala noda sekaligus sebagai tempat penciptaan. Jadi, Jro Luh adalah Ibu Bumi yang mengandung, memelihara, dan akan mengembalikan lagi isi dunia ke dalam perutNya ketika waktunya telah tiba.
Barong Landung, jika disimpulkan, adalah perwujudan dari sang Maha Pencipta itu sendiri, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang oleh undagi di masa lalu tentu diwujudkan sesuai dengan keadaan zamannya ketika itu, yakni ketika sedang hangat-hangatnya perkawinan antarbudaya Cina dan Bali, termasuk di dalamnya “perkawinan celaka” sang raja dengan putri Cina itu.
Namun, apapun latar belakangnya, Barong Landung adalah mahakarya yang pernah diciptakan oleh para leluhur di Bali. Ia adalah lambang penciptaan (lingga dan yoni) yang oleh ilmuwan Thomas Alfa Edison disebut sebagai unsur positif dan negatif. Diyakini, jika kedua unsur ini bertemu, maka akan menimbulkan energi listrik. Hebatnya, konsep lingga-yoni tercipta jauh sebelum Thomas Alfa Edison lahir.
(Sumber: Bali Post)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih buat komentarnya